Dayah Ule Titi.

Minggu, 05 Agustus 2018, Agustus 05, 2018 WIB Last Updated 2018-08-18T07:04:53Z
Pimpinan Dayah Ule Titi, Abu Cut.
Pria-pria muda berjalan mendekap kitab, mereka memburu keluar kelas menjelangmasuknya waktu ashar,  sepertinya baru saja selesai pengajian, seratusan pria lain keluar darimushalla, sebagian meninggalkan kitab didinding teras.

Begitulah suasana Dayah Ule Titi di jalan Blang Bintang, letaknya sekitar 12 kilometer di arah barat Banda Aceh, semula Dayah ini terletak persis di ujung jembatan Lambaro,kemudian dengan adanya perluasan Krueng Aceh pada tahun 1987, dipindahkan ke lokasi sekarang.

Dayah Ule Titi memiliki sekitar 1750 santri, dengan rincian 750 santri pria dan lebih1000 santri wanita, mereka belajar diasuh oleh 120 guru, demikian dijelaskan Ketua UmumYayasan Dayah Ule Titi Tgk.Muhammad Rizal (Abu Cut).
Para santri pria sedang berada didepan bilik dayah

Pimpinan pertama Dayah adalah Abu Syeh Saman, diperkirakan seorang ulama yang datang  dari  jazirah Arabia, beliau  merintis  Dayah Ule  Titi milik  masyarakat  Lambaro  dizaman penjajahan Belanda.

Pengajian   di   Dayah   kemudian   mengalami   kemunduran,   tidak   diketahui   pasti  apapenyebabnya, sebagian memperkirakan karena kondisi perang atau konflik sosial di dalammasyarakat, begitu penjelasan Abu Cut.

Komplek Dayah Ule Titi.Dayah   Ule   Titi   dilanjutkan   oleh   generasi   kedua   Abu   Ishak   Al  Amin   MeunasahKumbang  dari  Aceh  Utara,  kemudian  berlanjut   kepada  Abu  Athailah  yang  kini  menjadipimpinan Dayah.
Santri wanita di depan bilik mereka

Dibawah   bimbingan   Abu   Atahailah,   Dayah   Ule   Titi  membuka   9   tingkatan   kelaspengajian, dimulai dengan kelas 0 atau kelas Tajhizi untuk mereka yang mulai mengaji, danbelajar kitab-kitab Jawo yang masih memiliki baris, kemudian kelas 1-7 belajar kitab yanglebih tinggi dalam bahasa Arab tanpa baris.

Pada kelas Tajhizi hingga kelas 7 masih dibimbing oleh para guru yang berjumlah120   orang,  namun  setelah  naik   ke   kelas   8,   pengajian  langsung  dibawah   bimbingan   AbuAthailah, mulai saat itu tidak ada lagi kenaikan kelas, pengajian terus dilakukan selama masihmondok di Dayah Ule Titi.

Selama mengikuti pengajian, para santri diwajibkan dengan peraturan yang sangatketat, mereka tidak boleh keluar Dayah, karenanya di dekat pintu masuk Dayah dibangunsebuah pos jaga, setiap yang masuk dan keluar harus melapor pada petugas jaga, mereka juga tidak boleh merokok, membawa hand phone  dan membawa kenderaan.

Peraturan ketat itu akan sirna ketika para santri telah duduk pada kelas 8, merekasudah boleh keluar dan menggunakan HP, juga merokok sudah diperbolehkan, keistimewaan kelas 8 ini di sebabkan para santri umumnya telah masuk dalam usia dewasa, sebagian sudah diangkat menjadi guru untuk para santri  di kelas 0 hingga 7  oleh pimpinan Dayah.

Abu   Cut   menjelaskan,   Dayah   Ule   Titi   mengadakan   kelas   Tajhizi   untuk   memberi waktu yang lama kepada para santri dalam belajar kitab, mereka belajar kitab yang masih berbaris dahulu di kelas Tajhizi, agar nanti tidak kaget lagi ketika masuk ke tahab kitab tanpa baris.

Kelas Tajhizi ini dimaksudkan untuk memperpanjang waktu belajar kitab tanpa baris,karena ketika masuk pada kelas I juga masih belajar kitab tanpa baris, kelas Tajhizi memiliki4 lokal, setiap lokal diasuh oleh 5 orang guru.

Para santri yang masuk ke kelas Tajhizi umumnya telah menyelesaikan pendidikanpada Sekolah Dasar (SD), tetapi itu tidak harus, mereka yang sudah dewasa juga boleh masuk pada kelas Tajhizi sebagai kelas pemula di Dayah Ule Titi.

Untuk masuk kelas Tajhizi, para santri di uji membaca al qur,an secara baik, kalau tidak lulus, mereka tetap di terima, dan diarahkan ke anak cabang Yayasan Dayah Ule Titi yang lain, saat ini sudah memiliki 36 cabang diseluruh Aceh, demikian Abu Cut.

Pelajaran yang diberikan pada kelas Tajhizi para santri mulai belajar Qur,an, fiqih,tauhid, tasawuf, kitab-kitab alat (nahu +syaraf), qira,ah, lauradh, sejarah nabi, kitab ahlak dan kitab melayu lainnya.

Kelas selanjutnya belajar kitab yang  lebih tinggi, seperti kitab matan taqrib untukkelas I, kitab Bajuri untuk kelas II, kitab Iyannah (jilid 1-2) untuk kelas III,  kitab Iyannah(jilid 3-4) untuk kelas IV, kitab Mahali untuk kelas V, kelanjutan kitab Mahali untuk kelasVI,  melanjutkan kembali kitab Mahali untuk kelas VII.

Pada kelas VIII para santri yang sebagian mereka sudah menjadi guru untuk kelasdibawahnya,  sudah   belajar   kitab   tinggi   seperti   Fathul   Wahab   dan   Bujairimi   dibawah bimbingan langsung Abu Athailah.

Sebuah kelas khusus juga dibuka untuk masyarakat yangbelajar pada malam hari.Manyoritas santri yang belajar pada Dayah Ule Titi berasal dari Aceh, sebagian dari luar   daerah   dan   ada   yang   berasal   dari   Malaysia,   para   santri  yang   berasal   dari   Malaysia sebelumnya mencapai 1 kabilah, namun kini hanya tinggal 3 orang lagi, mereka kembali kenegaranya karena kondisi konflik di Aceh, jelas Abu Cut.

Sekarang  banyak   tamu   Malaysia   sering  datang   ke   Dayah  Ule   Titi,   mereka   punya rencana untuk membawa santri ke Dayah Ule Titi, jelas Tgk.Muhammad Rizal.

Secara keseluruhan Dayah Ule Titi memiliki asrama putra dan asrama putri, dengan jumlah bilik 135 buah, setiap bilik mampu menampung 4-16 santri, memiliki 23 lokal, 7 buah bale   beut   dan  sebuah  mushalla   yang   juga   difungsikan   untuk   kelas   mengaji,   karenanya terkadang pengajian di mushalla dilakukan di pojok-pojok, sesekali bila ada santri yang ingin membaca lebih keras bisa saja mengusik kelas lainnya di pojok lain.

Abu Cut memperkirakan Dayah Ule Titi butuh setidaknya 5 kelas lagi untuk parasantri, agar pengajian di mushalla bisa dipindahkan ke ruang kelas.

tarmizi alhagu

Komentar

Tampilkan

Terkini

Seputar%20Nanggroe

+