Banda Aceh – Hari
santri ditetapkan berdasarkan penelusuran sejarah. Santri adalah bagian yang
tidak terpisahkan dari gerakan-gerakan kebangsaan dan terlibat aktif dalam
memperjuangkan kemerdekaan Bangsa Indonesia.
Hal tersebut
disampaikan oleh Pelaksana Tugas Gubernur Aceh Nova Iriansyah, kepada awak
media usai bertindak sebagai inspektur upacara pada Upacara Peringatan Hari
Santri ke-5 Tahun 2019, di Lapangan Blang Padang, Kamis (24/10/2019).
“Sesuai Ikrar Santri
yang dibacakan tadi, kita tentu mengakui bahwa Santri adalah bagian yang tidak
terpisahkan dari gerakan-gerakan kebangsaan. Santri terlibat aktif dalam
memperjuangkan berdirinya republik ini. Banyak santri pejuang kita yang gugur
sebagai syuhada. Oleh karenanya mari kita apresiasi dan syukuri UU Pesantren
dan penetapan Hari Santri ini,” ujar Nova.
Menurut Nova
disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren telah
menjustifikasikan eksistensi dayah/pesantren sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari penyelenggaraan pendidikan nasional.
Dalam konteks Aceh,
Nova juga mengingatkan peran penting para ulama Dayah dalam
pembahasan-pembahasan perdamaian Aceh.
“Para Abu dan Tengku
Dayah sangat aktif terlibat dalam upaya perdamaian Aceh. Alhamdulillah, berkat
keterlibatan para ulama Dayah, akhirnya perdamaian pun tercipta di Aceh dan
kini kita dapat hidup dengan aman dan damai.”
Nova menambahkan, saat
ini dayah dan para santri menjadi bagian penting dari pembangunan Aceh. Sebagai
satu-satunya daerah di Indonesia yang melaksanakan Syari’at Islam, santri dan
dayah menjadi lokomotif bagi pembangunan di segala bidang di Bumi Serambi
Mekah.
Untuk mewujudkan hal
tersebut, terutama untuk membangun pendidikan yang Islami berbasis dayah, saat
ini Pemeritah Aceh sedang mengkaji untuk menjadikan Pendidikan Dayah sebagai
intisari pendidikan di Aceh, yaitu dengan melebur Dinas Pendidikan Dayah Aceh
dengan Dinas Pendidikan Aceh.
“Saat ini Pemerintah
Aceh sedang mengkaji untuk menerapkan intisari pendidikan Dayah sebagai basis
penyelenggaraan pendidikan di Aceh. Pendidikan Dayah yang selama ini berada di
bawah Dinas Pendidikan Dayah Aceh secara kelembagaan akan disatukan dengan
Dinas Pendidikan Aceh. Nantinya, kedua Dinas ini akan menjadikan pendidikan
dayah sebagai inti atau dasar bagi penyelenggaraan pendidikan di Aceh,” ujar
Plt Gubernur.
‘Santri Indonesia
untuk Perdamaian Dunia’
Dalam amanatnya selaku
inspektur pada upacara peringatan Hari Santri, Nova mengajak para santri dan
dayah untuk merenungi tema Nasional Peringatan Hari Santri 2019, yaitu ‘Santri
Indonesia untuk Perdamaian Dunia’.
“Tema ‘Santri
Indonesia untuk Perdamaian Dunia’ ini sangat sesuai dengan Islam yang Rahmatan
lil ‘alamin. Untuk itu, maka tema ini harus menjadi paradigma dan sandaran
pemikiran, betapa para santri dan dayah memiliki kewajiban untuk terus
berkontribusi bagi terwujudnya perdamaian dunia,” kata Nova.
Plt Gubernur
menambahkan, sebagai tempat bernaung para santri, Dayah dan Pesantren sebagai
lembaga pendidikan dituntut untuk mampu menanamkan kepada para santri, bahwa
Islam adalah agama yang rahmatan lil’alamin, Islam yang toleran dengan setiap
perbedaan, agama yang selalu mengedepankan pola dialogis, tidak anarkis dan
anti kekerasan.
“Para Ulama Dayah
harus hadir dengan bijak dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi,
terutama antar sesama umat Islam di Aceh, karena diakui atau tidak, pola
kekerasan dan cara-cara anarkis justru akan mencederai pelaksanaan Syariat
Islam dan mengganggu keberlangsungan perdamaian di Aceh.
Sikap bijak ini,
sambung Plt Gubernur, menjadi kunci dalam rangka merawat perdamaian dan
mewujudkan keadilan di Aceh serta berkontribusi dalam upaya mengawal dan
memperkuat pelaksanaan Syariat Islam.
Tujuh Alasan Dayah
sebagai Kunci Penguatan Syari’at
Dalam kesempatan
tersebut, Plt Gubernur menyampaikan tujuh alasan utama keberadaan
Dayah/Pesantren sebagai kunci memperkuat pelaksanaan Syariat Islam dan merawat
perdamaian di Aceh sebagai modal dalam membangun negeri.
Plt Gubernur menegaskan,
bahwa pelaksanaan Syariat Islam dan perdamaian di Aceh adalah sebuah nikmat
terbesar. Perjuangan mewujudkan formalisasi Syariat Islam dan perdamaian di
Aceh tidak terlepas dari peran Dayah/Pesantren.
Nova menjelaskan,
bahwa peran para alim ulama, para abu dengan elemen masyarakat Aceh lainnya,
secara bersama memperjuangkan agar Syariat Islam dapat diterapkan secara legal
formal di Aceh. Perjuangan panjang tersebut menuai hasil dengan ditetapkannya
UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelengggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah
Istimewa Aceh.
“Saat konflik
berkecamuk di Aceh, pemikiran para Abu dan Pimpinan Dayah sangat berkontribusi
bagi terciptanya keharmonisan dan perdamaian. Dialog serta negosiasi damai
antara Aceh dan Pemerintah Pusat secara kontinyu melibatkan kalangan dayah,
sehingga Perdamaian Aceh terwujud dengan lahirnya MoU Helsinki dan ditetapannya
UUPA,” sambung Nova.
Disadari bahwa, sampai
kini pun komitmen santri Aceh untuk memperkuat Syariat Islam dan merawat damai
di Aceh, tidak akan lekang karena panas dan tidak akan pernah lapuk karena
hujan.
Selanjutnya, sambung
Nova para santri di dayah/pesantren biasanya diajarkan pengabdian atau khidmah.
Pola ini merupakan ruh dan prinsip yang penuh dedikasi.
“Loyalitas ini
ditunjukkan para santri baik kepada gurunya, kepada lembaga tempat santri
menuntut ilmu, maupun pengabdian kepada masyarakat, karena di dayah/pesantren
para santri dibingkai paradigma tentang etika beragama sekaligus realitas
kebutuhan sosial masyarakat.”
Sementara itu, dalam
proses transfer ilmu baik melalui mengaji maupun mengkaji, selain didapatkan
secara langsung dari para Abu di dayah juga diterapkan keterbukaan kajian yang
bersumber dari berbagai kitab dan sejatinya sampai kajian lintas mazhab.
“Kajian dan dialog
para santri, baik itu berlangsung dalam skala kecil maupun besar untuk membahas
persoalan-persoalan keumatan, akan membentuk santri berkarakter terbuka, dan
metode ini memungkinkan para santri dapat belajar dalam menerima perbedaan,”
imbuh Nova.
Pada poin selanjutnya,
Plt Gubernur juga mengapresiasi kemandirian para santri yang di ajarkan di
dayah/pesantren. Nova meyakini, sikap mandiri dapat memupuk sikap solidaritas,
kepedulian, kebersamaan antar sesama santri.
Selanjutnya, Nova
meyakini tradisi seperti seni berpidato atau muhadharah yang tumbuh berkembang
di dayah/pesantren akan berpengaruh bagi karakter kepribadian para santri,
sehingga saat terjun ke masyarakat para santri dapat mengekspresikan perilaku
dan mengedepankan pesan Syariat Islam dan perdamaian.
Pada poin selanjutnya,
Plt Gubernur mengingatkan tantangan berat terkait upaya pelaksanaan Syari’at
Islam di Aceh adalah perkembangan zaman yang bergerak sangat progresif dan
melahirkan banyak permasalahan.
“Paham liberalisme,
materalisme, dan hedonisme tak terasa telah memasuki ruang dan rumah kita. Di
tengah zaman yang semakin pragmatis ini, maka Dayah/Pesantren menjadi ruang
yang sangat kondusif untuk menjaga khazanah kearifan lokal sekaligus memperkuat
pelaksanaan Syariat Islam di Aceh,” kata Nova.
Pada poin terakhir,
Plt Gubernur menegaskan bahwa prinsip kemashlahatan ummat merupakan pegangan
tak tergoyahkan di kalangan Dayah/Pesantren. “Prinsip ini yang selama ini
menjadi spirit tersendiri para santri terutama dalam merawat perdamaian abadi
terus bersemi di Aceh.”
Dalam amanatnya, Plt
Gubernur juga mengajak seluruh Santri dan Dayah atau pesantren untuk mendukung
Gerakan Bersih, Rapi, Estetis dan Hijau (BEREH) di seluruh lingkungan dayah dan
pesantren.
“Mari dukung gerakan
BEREH, agar kenyamanan dalam proses belajar mengajar di dayah dapat kita
rasakan bersama. Gerakan BEREH sudah mulai diterapkan di seluruh kantor-kantor
pemerintahan, sarana pendidikan dan kesehatan, baik di tingkat Pemerintah Aceh
maupun kabupaten/kota,” imbau Plt Gubernur.