Peran Aceh Dalam Kemerdekaan Republik Indonesia

Kamis, 17 Agustus 2023, Agustus 17, 2023 WIB Last Updated 2023-08-22T13:12:52Z

 

 


 


Jum,at  17 Agustus 1945 Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Pegangsaan Timur, Jakarta. Kini waktu kemerdekaan itu telah berlalu hingga 78 tahun, sebuah usia yang sangat dewasa. Dewasa untuk ukuran umur manusia, dewasa juga untuk  ukuran sebuah bangsa.

 

Kemerdekaan  yang diproklamirkan Soekarno itu ternyata tidak berjalan mudah. Baru saja dia membentuk pemerintahan, sekutu dengan bala tentaranya masuk ke Indonesia, tujuannya untuk melucuti Jepang, pada kenyataan mereka menggandeng NICA, tentara Belanda untuk melanjutkan kembali Imperialismenya.

 

Jakarta dikuasai oleh tentara sekutu, Pemerintahan Soekarno terpaksa mengungsi ke Yogyakarta. Kemudian Yogyakarta juga dikuasai oleh Belanda. Soekarno ditangkap dan diasingkan, sementara pemerintahan dilanjutkan oleh Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara secara bergerilya.

 

Dibawah kekuasaan Belanda itu, Jenderal Soedirman selaku Panglima Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melanjutkan perjuangan dengan bergerilya. Pertempuran pecah di Bandung, Surabaya, Bekasi dan berbagai tempat lainnya.


Konflik Sosial Aceh.

Di Aceh suasana baru saja berlalu dari perang saudara,  antara Ule Balang Cumbok yang Pro Belanda dengan Ulama PUSA yang didukung rakyat. Ribuan orang tewas dalam konflik sosial yang sangat berdarah itu.

 

PUSA yang memenangkan perang mengambil alih pemerintahan  dari Residen Aceh Teuku Nyak Arief, Komandan TKR Aceh Kolonel Teuku Syamaun Gaharu digantikan oleh Manyor Jenderal Teuku Husen Yusuf. Manyor Jenderal (Tituler) Tengku Muhammad Daoed Beureueh kemudian menjadi Gubernur  Aceh Langkat Dan Tanah Karo.


Perang Medan Area.

Dalam suasana genting itu, ketika seluruh wilayah Indonesia sudah dikuasai oleh Belanda, Abu Beureueh memerintahkan kepada Manyor Jenderal Teuku Husen Yusuf untuk memobilisasi pasukan di kota Bireuen.

 

Seluruh Kesatuan TKR Aceh mempersiapkan diri untuk menghalau Belanda yang sudah bergerak masuk sampai Besitang.  Semua kesatuan dipersenjatai dari Bireuen, mereka berangkat menuju palagan perang Medan Area.

 

Pos-Pos kecil Belanda dikuasai, sebuah pos besar Belanda di dekat Besitang diserbu oleh Batalion yang dipimpin Kapten Nazir. Serangan itu gagal, mereka mundur hingga bergabung dengan pasukan  Mujahidin Teuku Ilyas leube. Serangan ulang kemudian memberi ruang gerak kepada pasukan Aceh.

 

Serangan darat itu menghancurkan moril pasukan Belanda, mereka mundur ke arah timur. Pesawat tempur mereka membombardir pasukan Aceh,  serangan udara itu gagal. Ditanggapi oleh pasukan Aceh hujan dengan menghujani pesawat Belanda dengan peluru.

 

Beberapa pesawat Belanda itu meledak di udara oleh serangan pasukan Aceh, mereka kemudian kabur kearah Palembang. Seluruh Langkat dan Tanah Karo kemudian dikuasai oleh pasukan Aceh. Sebuah batalion yang dipimpin oleh Teuku Abdul Madjid Sabi kemudian mengejar pasukan Belanda hingga ke Palembang, pertempuran kembali pecah di Palembang.

 

Peran Wartawan Aceh Dalam Kemerdekaan.

Di Bireuen tepatnya di pendopo Bupati Bireuen sekarang, para wartawan Aceh menyiarkan perkembangan perang Medan Area melalui Radio Rimba Raya, dengan perangkat radio yang dibawa pulang oleh  Letnan Jonh Lee dari Temasik, Singapura sekarang.

 

Siaran Radio Rimba Raya itulah yang didengar oleh Duta Besar India untuk PBB, tentang perang Medan Area. Dialah yang bersaksi di Sidang Keamanan PBB bahwa Indonesia masih ada, tepatnya Aceh masih menjalankan pemerintahan secara normal.

 

78 Tahun telah berlalu, peran Aceh dalam menyelamatkan Indonesia sebagai sebuah negara kini sudah terlupakan. Apalagi peran wartawan Aceh, hampir tidak pernah disebut lagi wartawan Aceh adalah wartawan pejuang, sirna didalam perjalanan sejarah.


Tarmizi Alhagu



Komentar

Tampilkan

Terkini