Pers Aceh Dari Masa Ke Masa

Rabu, 07 Februari 2024, Februari 07, 2024 WIB Last Updated 2024-03-06T02:09:00Z

 

       Teropong Bang  Midi


 

Perjalanan Pers Aceh tidak terlepas dari kehadiran negara Republik Indonesia, diawali oleh Eksistensi Radio Rimba Raya yang diudarakan oleh Divisi 10 TKR  dari markas mereka di Bireuen.

 

Radio Rimba Raya mengawali kehadiran Pers di Aceh sebagai Pers perjuangan, yang menyiarkan pertempuran antara TKR Aceh melawan Belanda di Medan Area pada masa agresi Belanda , dibawah pimpinan Panglima Divisi 10 Manyor Jenderal  Teuku Husen Yusuf bersama istrinya Umi Salamah. Radio Rimba Raya memberi semangat perjuangan kepada para tentara dan rakyat yang bertempur mengusir Belanda.

 

Husen Yusuf adalah seorang Jurnalis yang sebelum kemerdekaan bekerja pada sebuah media asing. Setelah TKR Aceh terbentuk, dia diangkat menjadi Wakil Komandan II TKR Aceh. Jabatan itu kemudian berubah seusai Revolusi Cumbok, Husen Yusuf Menjadi Panglima Divisi 10 bersamaan dengan Tgk.Muhammad Daoed Beureueh Menjadi Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo.

 

Setelah Pensiun dari Militer, Husen Yusuf mendirikan sebuah media cetak bernama Atjeh Post, media itu masih bertahan hingga era awal tahun 2000 yang dikelola oleh putranya Teuku Muhammad Ghazie.

 

Pers  Aceh kemudian meninggalkan era Perjuangan dengan kehadiran media cetak baru seperti Peristiwa, Taufan, Duta dan berbagai media lainnya yang hadir mewarnai kehidupan Pers silih berganti.

 

Pada Era tahun 1980-an dimulai  kehadiran Pers yang terkontrol,  dengan kehadiran organisasi wartawan bernama PWI, Ketua pertamanya adalah Drs Dahlan Sulaiman. Dialah yang mendirikan kehadiran PWI di Aceh, selanjutnya PWI dipimpin oleh Tia Husphia, Samsul Kahar memimpin PWI selama tiga periode.

 

Pada Era Samsul Kahar sebagai Ketua PWI, anggota PWI Aceh hanya ada 12 orang. Selama dua periode kepemimpinan awal Samsul 12 orang anggota itu tetap bertahan, yang berubah hanya posisi orangnya, biasanya Ketua LKBN Antara Aceh yang berubah karena terjadi pergantian pimpinan di Aceh.

 

Perubahan dari 12 orang itu baru terjadi setelah tahun 1989 dengan kehadiran media cetak Serambi Indonesia.  Masuknya wartawan-wartawan Serambi ke dalam Organisasi PWI memberi nuansa baru perubahan Pers di Aceh.

 

Setelah Samsul Kahar digantikan oleh Adnan NS sebagai Ketua PWI, barulah PWI mengalami banyak perubahan. Adnan memasukkan banyak wartawan menjadi anggota PWI, organisasi itu kemudian menjadi gemuk dan terlihat lebih demokratis.

 

Era Adnan berlalu dengan kepemimpinan Drs A Dahlan TH, Tarmilin Usman hingga Nasir Nurdin yang kembali memberi warna Pers yang baru. Ketiga Pemimpin PWI terakhir tidak lain adalah wartawan-wartawan yang dididik oleh Samsul Kahar di organisassi PWI dan Media Serambi Indonesia.

 

Datangnya Era Digital memberi perubahan yang sangat signifikan pada kehidupan insan pers. Hadirnya media-media berbasis online, dibarengi kemunculan organisasi Media baru dan Organisasi Wartawan baru, membuat pertumbuhan wartawan cukup banyak di Aceh. Diperkirakan saat ini sudah ada sekitar 400 Media di Aceh, baik cetak maupun Cyber Media.

 

Era digital membuat siapa saja bisa menjadi wartawan. Siapa saja bisa menjadi pemilik media, maka bermunculan tukang ikan, tukang lotere, pengacara, aktivis LSM,  pedagang kali lima, tukang jual jam palsu di Pasar Aceh juga menjadi wartawan.

 

Mulailah Aceh mengenal kehidupan pers yang tidak terkendali. Kemunculan banyak media yang tidak dibarengi dengan Profesionalisme dan ketaatan kepada hukum Pers, membuat berbagai ketimpangan di lapangan. Dari mulai marketing hingga peliputan,  membuat suasana kesakralan Pers menjadi sebuah lelucon di dunia maya.

 

*Tulisan Ini Dibuat Untuk Memperingati Hari Pers Nasional.*



Komentar

Tampilkan

Terkini