Terletak jauh dipedalaman Kabupaten Bireuen, keharuman ulama sufi Tgk.Chiek Awe Geutah tidak pudar karena jarak, namanya juga tidak hilang ditelan waktu, walau Tgk.Chiek telah sekian abad beristirahat di makamnya desa Awe Geutah, Kecamatan Peusangan.
Setiap tahun ada ribuan orang berziarah ke makam yang telah berusia mendekati VIII abad itu, terutama dari keturunan kerabatnya keluarga Dayah Tanoh Abe, Aceh Besar, demikian pula dari berbagai dayah tradisional berkunjung bersama para santri saat pembukaan pembacaan kitab yang pernah ditulis Tgk.Chiek Awe Geutah.
Awe Geutah adalah sebuah keniscayaan, tentang jejak seorang ulama sufi yang membuka pemukiman dibelantara Peusangan, disanalah dalam kurun waktu berabad-abad Islam dikembangkan, lalu kemudian ilmu dari Awe Geutah menjelajah jauh keberbagai pesantren diwilayah Nanggroe Aceh lainnya.
Waktu telah berlalu, Tgk.Chiek juga telah tuntas menjalankan tugasnya sebagai pesuruh Allah, ilmu telah dia tinggalkan dalam kitab-kitab yang pernah dia tulis, juga lewat banyak murid yang telah mengembangkan bekal ilmu agama dari Tgk.Chiek Awe Geutah.
Kini di desa nan jauh sekitar 20 kilo meter dari pusat Kabupaten Bireuen, Awe Geutah menjadi sebuah desa terpencil, tidak ada angkutan umum yang melintasi kawasan itu, hanya peninggalan Tgk.Chiek berupa Dayah masih tersisa, rumah, dan Mon Kaluet menjadi tempat berziarah bagi para pendatang.
.
Rumah Berusia 786 Tahun.
Rumah Ulama Sufi Tgk Abdurrahim bin Muhammad Saleh yang lebih dikenal Tgk Chiek Awe Geutah di Desa pedalaman Awe Geutah, Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Kabupaten Bireuen, terdapat rumah adat asli Aceh kontruksi kayu beratap daun rumbia.
Kendati sudah berusia 786 tahun rumah tersebut masih berdiri kokoh. Dibalik situs perbakala itu masih banyak yang tidak mengetahui riwayat tentang pendirinya, Teungku Chik Awe Geutah, seorang Ulama Sufi berasal dari Iraq yang sangat berperan dalam mengembangkan agama Islam di Aceh.
Sayangnya jasa-jasa Teungku Awe Geutah seperti terlupakan. Belum ada sejarawan yang menulis riwayat tentang ulama Sufi itu. Kebanyakan mereka hanya datang untuk melihat pesona Rumoh Aceh yang masih terpelihara keasliannya secara utuh sampai kini.
Pihak keluarga Teungku Chik Awe Geutah sendiri sudah banyak yang tidak mengetahui lagi secara mendetail tentang riwayat ulama yang dikenal keramat itu. Makanya untuk menulis kisah tentang Teungku Chik Awe Geutah sangat sulit. Sebab, tidak ada Sarakata berupa literatur atau referensi sebagai pedoman untuk menguatkan kebenaran terhadap penulisan sejarahnya.
Tgk Muhyen Nufus,31, salah seorang keluarga keturunan garis ketujuh Teungku Chik Awe Geutah.sebagai pengawas Situs Purbakala yang ditemui Tabloid Moslem di komplek Tgk Chiek Awe Geutah pecan silam mengatakan, ia adalah salah seorang keluarga keturunan langsung Tgk Chiek Awe Geutah.
Tentang silsilah (Sarakata) Tgk Chiek Awe Geutah yang asli tidak ada lagi. Dari Sarakata yang ada Silsilah Tgk Awe Geutah yang nama aslinya Tgk Chiek Abdur Rahim, Tgk Chiek Muhammad Zein, Tgk Chiek Muhammad Daud, Tgk Chiek Muchsin (Tgk Chiek Peuratah) Tgk Chiek Mansur (Tgk Chiek Meunasah), Tgk Chiek Muhammad Dahlan semuanya sudah almarhum.
Tgk Muchyen Nufus dari keturunan lapis ketujuh Tgk Chiek Muahammad Dahlan sebagai wali langsung pewaris Tgk Chiek Awe Geutah.
Siapa Tgk.Chiek Awe Geutah.
Dikisahkan, Teungku Chik Awe Geutah nama aslinya Abdul Rahim bin Muhammad Saleh. Dia seorang ulama Sufi, yang berasal dari Kan’an, Iraq. Kemudian merantau dan menetap di Desa Awe Geutah pada abad ke-13 sampai dia meninggal di sana
.
Tidak diketahui persisnya tahun berapa dia pertama kali menginjakkan kaki di desa pedalaman Kecamatan Peusangan Siblah Krueng itu. Di batu nisannya pun tidak tertera tahun meninggal ulama besar itu.
Perjalanannya mencari Awe Geutah sebagai tempat menetap, sekaligus mengembangkan agama Islam yang aman dan damai, punya kisah tersendiri. Syahdan sekitar abad ke 13 silam, Abdul Rahim bin Muhammad Saleh sekeluarga, serta tiga pria saudara kandungnya, hijrah ke Aceh.
Menurut sumber, mereka meninggalkan tanah kelahirannya.karena masa itu itu ada pertentangan antar pemeluk beragama Islam di sana, menyangkut perbedaan khilafiyah. Untuk menghindari perselisihan yang bisa berakibat perpecahan antar pemeluk agama Islam itulah Abdul Rahim bersama keluarga dan berinisiatif melakukan hijrah ke tempat lain.
Pencarian untuk mendapatkan negeri yang aman dan tenteram itu, membuat mereka harus menyingggahi beberapa tempat. Pertama Abdul Rahim beserta rombongan mendarat di kepulauan Nicobar dan Andaman di Samudera Hindia. Kemudian singgah di pulau Weh. Lalu ke pulau Sumatera, yang waktu itu mereka menyebutnya pulau Ruja. Di pulau tersebut mereka menetap beberapa saat di Gampong Lamkabeu, Aceh Besar.
Merasa belum menemukan tempat yang cocok sebagai tempat menetap, lalu mereka melanjutkan lagi pelayaran. Namun seorang saudara kandung Abdul Rahim tidak mau lagi melanjutkan perjalanan. Namanya tidak diketahui persis.
Dia saat itu sudah memantapkan pilihan hatinya untuk bertahan di sana. Konon kabarnya dia kemudian menetap di Tanoh Abee. Di sana dia membangun tempat pengajian. Kelak dia lebih dikenal dengan nama Teungku Chik Tanoh Abee.
Sedangkan pengikut rombongan Abdul Rahim kemudian melanjutkan pengembaraannya. Rombongan tersebut akhirnya mendarat di Kuala Jangka (Kecamatan Jangka, Kabupaten Bireuen-). Sebab, mereka melihat di Kuala Jangka banyak pelayar yang singgah.
Di sana mereka mendapati beberapa toke dari India yang melakukan transaksi penjualan pinang di Kuala Jangka. Salah satunya bernama Cende. Dia mengaku kepada Abdul Rahim, sudah sering pulang-pergi ke Kuala Jangka. Waktu itu Kuala Jangka sudah menjadi pelabuhan yang maju, dan disinggahi para pedagang dari berbagai negara.
Rombongan Abdul Rahim kemudian menetap di Asan Bideun (Sekarang Desa Asan Bideun, Kecamatan Jangka). Mereka tinggal beberapa waktu dan mendirikan balai pengajian untuk mengembangkan dan mengajarkan ilmu agama Islam kepada penduduk di sana.
Suatu hari Abdul Rahim melihat beberapa perempuan setempat, pulang mencuci di sungai dengan memakai kain yang menampakkan bagian dada atas. Melihat pemandangan yang tidak biasanya itu, .Abdul Rahim punya firasat lain. Dia berkesimpulan, Asan Bideun bukanlah tempat yang cocok sebagai tempat mereka menetap, negeri itu masih zalim.
Lalu mereka sepakat pindah ke tempat lain. Kali ini rombongan terpecah lagi, mereka terbagi tiga kelompok. Satu kelompok yang dipimpin adiknya Abdul Rahim menuju Paya Rabo dan menetap di sana (Sekarang Desa Paya Rabo masuk wilayah Kecamatan Sawang, Kabupaten Aceh Utara).
Kelompok yang dipimpin adiknya yang lain pergi dan menetap di Pulo Iboh (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Jangka).
Mencari Tanah Harapan.
Sedangkan satu kelompok lagi yang dipimpin Abdul Rahim sendiri hijrah ke Keudee Asan (Sekarang masuk wilayah Kecamatan Peusangan Selatan). Di sana rombongan tersebut sempat menetap beberapa waktu, dan mengadakan pengajian bagi penduduk setempat.
Namun setelah sekian lama menetap di Keudee Asan, dia merasa tempat itu belum cocok untuk dijadikan tempat menetap yang benar-benar sesuai keinginannya. Untuk itulah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah empat malam berturut-turut, untuk memohon petunjuk dari Allah, dan harus naik ke atas bukit menghadap empat arah penjuru mata angin.
Malam pertama setelah Abdul Rahim melaksanakan shalat istikharah tengah malam, dia naik ke sebuah bukit yang cukup tinggi, namanya Gle Sibru (Sekarang masuk wilayah Desa Cibrek, Kecamatan Peusangan Selatan).
Di atas bukit itu Abdul Rahim berdiri menghadap ke arah selatan. Agak lama juga dia menatap ke sana, namun tidak tampak apa-apa. Yang terlihat hanya pucuk labu. Konon kabarnya, pucuk labu yang dilihat Abdul Rahim itu adalah Desa Geulanggang Labu, Kecamatan Peusangan Selatan sekarang.
Malam kedua, setelah shalat istikharah, Abdul Rahim naik lagi ke atas bukit tersebut. Kali ini dia menghadap ke arah barat, tapi dia tidak melihat apapun. Malam berikutnya dia juga melakukan hal yang sama, dengan menghadap ke arah utara. Hasilnya tetap nihil, tidak mendapatkan petunjuk apa-apa.
Baru pada malam keempat Abdul Rahim mendapatkan hasilnya. Ketika dia menghadap ke arah timur, pandangan matanya terlihat sesuatu. Seberkas cahaya putih bersih dia lihat menyembul di sana. Abdul Rahim berkeyakinan, di daerah sembulan kilauan cahaya itulah tempat yang aman dan damai sebagai tempat tinggal yang permanen.
Maka keesokan harinya mereka langsung berangkat menuju ke daerah asal cahaya tadi. Singkat cerita, sesuai petunjuk Abdul Rahim yang memimpin perjalanan, tibalah mereka di sebuah tempat yang diyakininya sebagai daerah asal cahaya itu.
Saat itu, di sana masih berhutan belantara. Kemudian hutan-hutan itu mereka tebang dan bersihkan untuk dijadikan perkampungan. Suatu hari sambil melepas lelah, setelah capek bergotong-royong, Abdul Rahim menanyakan pada rekan-rekannya, apa nama yang cocok ditabalkan untuk tempat pemukiman baru itu. Ada beberapa nama yang diusulkan mereka, tapi dirasakan tidak ada yang cocok.
Seorang di antara mereka, sambil duduk-duduk membersihkan getah rotan yang lengket di tangannya, mengusulkan sebuah nama. “Untuk apa capek-capek memikirkan nama. Bagaimana kalau kita namai saja Awe Geutah?” tanya orang itu.
Usulan itu pun diterima Abdul Rahim dan rekan-rekan mereka yang lain. Nah, sejak saat itulah tempat pemukiman baru mereka itu dinamakan Awe Geutah.(Rotan Bergetah). Itulah sekelumit asal usul nama Desa Awe Geutah sekarang.
Kini di depan rumah purbakala itu juga terdapat Makam Tgk Chiek Awe Geutah, Bale Kaluet dan Mon (sumur) Makluet.
Menurut Tgk Muchyen Nufus banyak masyarakat dari Aceh, luar Aceh ziarah ke makam Tgl Chiek Awe Geutah.. Kunjungan tamu dari luar Aceh, Medan, Deli Serdang, Jakarta, Madura, dan luar negeri antara lain, Iran, India, Turkey dan Arab.
Ada diantaranya yang menbayar nazarnya atas kesampaian hajatnya di Makam Tgk Chiek Awe Geutah, Mon Kaluet antara lain turun tanah pertama bayi dan dimanikan dengan air Mon Kaluet yang air sumurnya berasal dari air sumur zamzam dari Makkah.
Dikatakan, tahun 2011 komplek situs purbakala rumah Tgk Chiek Awe Geutah yang terdiri dari beberapa rumah. Sudah direhab Dirjen Purbakala Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hanya rumah induk, lantai halaman dan beberapa tempat duduk di komplek untuk para wisatawan. Sedangkan rehab tiga buah rumah lainnya juga peninggalan purbakala dikawasan komplek belum direhab.
Tgk Mchyen berharap pihak Dirjen Purbakala agar dapat merehab kembali tiga rumah purbakala sebagai melestarikan komplek Tgk Chiek Awe Geutrah sebagai situs purnakala, pintanya.
Azhari AR, S. Pd