Dayah Darut Thalibain Nisam

Sabtu, 18 Agustus 2018, Agustus 18, 2018 WIB Last Updated 2018-08-29T14:06:30Z
Kompleks Dayah Darut Thalibin

Lantunan suara orang membaca ayat suci al qur’an mengalun pelan, terdengar sayup dari kejauhan, suasana Dayah Darut Thalibin terlihat sedikit senyap, saya memarkir kenderaan di bawah pohon mangga depan mesjid begitu tiba di halaman depan Dayah.

Badan terasa pegal, saya pikir istirahat sebentar dibawah keteduhan pohon ada baiknya juga, setelah  lelah menempuh perjalanan dari Lhokseumawe kepedalaman Nisam begitu terasa, bukan karena jaraknya, tetapi saya harus melintasi perbukitan dengan kondisi jalan berlubang  penuh tonjolan batu besar.

Dayah Darut Thalibin terletak di barat lhokseumawe, kita bisa masuk melalui jalanan samping  bekas komplek perumahan pabrik pupuk AAF yang kini terlantar,  berkendara sejauh 7-8 kilo meter  pada jalanan aspal, kita akan membelok ke kiri pada sebuah tanjakan bukit,  jalanan buruk akan menyapa pengendara, salah-salah kenderaan bisa terguling ditempat ini bila terperosok kelobang dan tertabrak tonjolan batu.

Melewati bukit tadi, kita akan menemui hamparan sawah, sebagian masih terlihat bekas baru dipanen, sebagian lagi sudah ditumbuhi semak, sepertinya sawah disini tidak memiliki irigasi, dibelakang perkebunan warga dengan tumbuhan pinang berjejer ramai, perbukitan dibelakang terlihat sedikit tandus, ilalang tumbuh diatasnya, sedikit pohon besar terlihat tumbuh.

Pada sebuah persimpangan setelah sawah kita harus membelok ke kiri, jalanan terasa sejuk, jejeran pohon pinang terlihat bersusun di perbukitan sisi kiri, pohon besar lainnya memepet rapat, pada sisi kanan tanah terlihat landai, kebun penduduk menjadi pemandangan disana.

Diujung jalan terlihat sebuah jembatan kecil, melintasinya kita menemukan kembali jalanan aspal, sebuah sekolah terlihat disisi kanan turunan jembatan, berkendara terus sekitar 15 menit bakal ketemu pasar desa Keutapang, ada persimpangan disana, kita harus membelok ke kanan setelah bertemu sebuah balai tempat warga terlihat duduk santai,  beberapa kedai kayu menandakan dipersimpangan itu merupakan sebuah pasar, dibagian atas melintang spanduk anggota DPR Aceh memberi ucapan selamat Ramadhan, spanduk lain caleg dari berbagai partai berpromosi diri.

Berjarak hanya sekitar 30 meter di sisi kanan jalan bertemulah dengan komplek Dayah Darut Thalibin, sebuah mesjid terlihat teduh menghadap ke gerbang depan, disisi kanan ada sebatang pohon mangga besar, beberapa pohon kelapa berdiri kokoh dihalaman, sebuah bak besar terlihat disisi kiri, tempat para santri mengambil wudhuk.

Dayah Darut Thalibin tepat berada di tengah perkampungan warga Nisam, dibelakang pasar desa Keutapang, di timur Dayah terlihat hamparan sawah seluas mata memandang, dibelakangnya dari kejauhan membayang hitam pohonan tinggi pada barisan perbukitan, didekat sanalah rawa Cot beTrieng berada, sebuah lokasi heboh pada masa konflik Aceh.

Sejatinya bila berdiri di depan halaman mesjid terlihatlah Dayah Darut Thalibin dikelilingi pegununungan dari semua sisi, di bagian timur gunung, bagian utara gunung, bagian barat juga gunung, demikian juga dibagian selatan terlihat barisan gunung kehitaman dari jauh.

Disanalah, ditanah landai dekat hamparan sawah, dikelilingi pegunungan Nisam, 220 santri pria menuntut ilmu pada Dayah Darut Thalibin, dalam jumlah yang tidak jauh berbeda juga santri wanita berada di Dayah putri, mereka mendapatkan bimbingan dari ulama Nisam Abu Hasballah Keutapang.

Para santri pria menempati 83 bilik, mereka mengaji dan belajar isi kitab siang dan malam, mulai usai shubuh, Dhuha, setelah Dhuhur dan malam hari, dengan bimbingan 50 tenaga pengajar oleh para Teungku yang juga nyantri belajar pada Abu Hasballah.

Sementara kegiatan para santri wanita tentu saja saya tidak bisa melihat, tidak dibolehkan kaum pria masuk kesana, demikian juga para santrinya tidak dibolehkan keluar pekarangan Dayah, hanya sesekali santri wanita bisa keluar saat berkunjung ketempat orang sakit dan orang meninggal untuk berdoa, tentunya masih dibawah bimbingan Teungku mereka.

Peraturan ketat itu tidak berlaku untuk santri pria, mereka boleh saja berkeliaran disekitar Dayah, bahkan para santri untuk membiayai hidup selama belajar di Dayah Darut Thalibin boleh bekerja di persawahan penduduk saat panen tiba, selebihnya tentu dari shadaqah dan infaq masyarakat desa Keutapang dan warga lainnya.

Uniknya Dayah Darut Thalibin justru tidak menerima bantuan pemerintah, menurut beberapa orang Teungku yang saya temui seusai shalat di mesjid Dayah, tidak kurang dari mantan Wagub Muhammad Nazar dan mantan Gubernur Irwandi Yusuf pernah menawarkan biaya untuk pembangunan Dayah, hasilnya semua dana itu ditolak pimpinan Dayah Abu Hasballah.

Pembangunan Dayah Darut Thalibin  didapatkan dari Shadaqah masyarakat desa Keutapang, para petani dibawah pegunungan Nisam itu setiap tahun menyisihkan pendapatan mereka, tidak hanya untuk pembangunan Dayah, tetapi juga untuk kebutuhan para santri yang menuntut ilmu disana.

Nisam memang berbeda, saya masih terus mendengar suara laki-laki mengaji didalam mesjid, usai shalat saya juga mengambil al-qur’an tua didepan saya, mengaji juga meski tidak seindah lafaz para santri Dayah Darut Thalibin.

Dhuhur ini kedatangan saya kesini sudah untuk ke tiga kalinya, pada kedatangan pertama saya sempat mengikuti shalat Ashar di mesjid Dayah Darut Thalibin, mendekati waktu shalat saya melihat beberapa lelaki dalam jumlah puluhan, seorang demi seorang keluar dari bilik mereka, berpakaian menutup seluruh tubuh hingga kepala, tidak tampak wajah, mereka adalah para santri dan warga yang melakukan Khaluet di Dayah Darut Thalibin.

Kesejukan pedalaman Nisam terus membayang, suatu ketika saya berharap bisa kembali ketempat ini, dibawah keteduhan pohon, diapit pegunungan negeri Pase, berada didekat hamparan sawah menguning,  melahirkan kerinduan untuk kembali.

tarmizi alhagu

Komentar

Tampilkan

Terkini