Peunayong Seperti Planet Lain Di Tanah Rencong

Minggu, 27 November 2022, November 27, 2022 WIB Last Updated 2022-11-27T11:30:40Z

 

 

Banda Aceh - Menapaki lorong-lorong Peunayong, sebuah kawasan pertokoan pemukiman etnis Tionghoa di pusat perkotaan Banda Aceh, memberikan nuansa yang sungguh berbeda dengan kawasan lainnya di bagian kota yang sudah berumur lebih VIII abad ini.

 

Peunayong adalah pusat kota Banda Aceh di bagian timur, di sebelah baratnya berada kawasan Pasar Aceh. Di sanalah masjid Baiturrahman kebanggaan rakyat Aceh berada. Sementara Peunayong seperti berada di planet yang berbeda, kawasan ini dipenuhi oleh gereja dan Vihara Budha.

 

Antara kedua kawasan pusat Kota Banda Aceh ini dipisahkan oleh sebuah sungai bernama Krueng Aceh. Membelah tepat di tengahnya sehingga memisahkan antara Mesjid Baiturrahman di bagian barat, dan Gereja Khatolik di bagian timur.

 

Sepanjang jalur Jalan Panglima Polem Peunayong hingga ke seberang lampu merah persimpangan Pocut Baren, berdiri banyak rumah ibadah umat Budha, seperti Vihara Maitri dan lainnya. Berbelok ke arah Jalan Pocut Baren, hanya beberapa meter saja sudah berdiri dua buah gereja, ada sekolah Kristen juga disini.

 

Kawasan rumah ibadah itu berada di kawasan Kampung Mulia, kawasan yang juga banyak dihuni oleh etnis Tionghoa. Tidak jauh dari lokasi itu berdiri lagi sebuah gereja besar, Grreja Batak HKBP di Jalan Pelangi.

 

Semua kawasan bekas Perkebunan Erpach dimasa Belanda ini, yang kini berubah menjadi Kampung Keuramat, Laksana dan Mulia. Tidak hanya dihuni oleh para pendatang, tetapi bermunculan pembangunan gereja-gereja dan vihara yang sangat banyak. Bahkan dalam posisi berdekatan, menimbulkan ketimpangan dengan keberadaan masjid yang menjadi tidak dominan di kawasan itu. Padahal Aceh berjuluk Serambi Mekkah yang mayoritas penduduknya beragama Islam.

 

Pusat Bisnis

 

Sebagai pusat bisnis Peunayong dihuni oleh mayoritas etnis Tionghoa. Kawasan pertokoan di sini menjadi  tempat mereka bermukim. Mereka juga memiliki sebuah organisasi bernama Hakka yang khusus mengurusi komunitas Tionghoa.

 

Kepemilikan pertokoan juga didominasi oleh warga Tionghoa, mereka membangun berbagai bentuk toko hingga hotel di kawasan Peunayong. Terkadang toko yang mereka bangun sudah berubah dari kondisi semula, yang tadinya dua lantai sudah berubah menjadi tiga, empat bahkan lima lantai.

 

Perubahan pembangunan toko ini terlihat tidak ada yang mengawasi atau melarangnya. Walaupun terlihat sangat kontras dan berbeda dengan toko di sebelahnya, yang dibangun hanya dua lantai.

 

Kepatuhan oknum warga Tionghoa yang membangun toko melebihi yang dibangun semula, menjadi sebuah pertanyaan dari siapa mereka mendapatkan izin pembangunannya. Ataukah sudah terjadi cincai-cincai saja antara oknum warga Tionghoa dengan oknum pejabat di Kota Banda Aceh.


Sebuah Lorong Fasilitas Umum Yang Ditutup Di Peunayong


Mereka juga menutup akses jalan masuk di belakang toko mereka dengan membuat pintu pagar. Memakai jalan umum di samping toko mereka untuk bisnis warung kopi. Berbagai pelanggaran penggunaan fasiltas umum untuk kepentingan pribadi, dilakukan oleh oknum etnis Tionghoa di Peunayong.

 

Dengan kondisi seperti itu tidak heran pernah pecah kerusuhan antara warga Aceh dan Tionghoa, akibat beragam persoalan yang terjadi di Peunayong itu. Pada tahun 1981 sebuah kerusuhan besar terjadi setelah seorang warga Aceh dipukul kepalanya dengan besi oleh pemilik bengkel sepeda motor di Peunayong.

 

Persoalan bermula ketika seorang warga Aceh melakukan perbaikan sepeda motor di bengkel milik Tionghoa, kemudian pemilik bengkel melakukan perbaikan diluar permintaan pemilik motor. Warga Aceh ini tidak setuju, lalu kepalanya dipukul dengan besi peralatan bengkel, kerusuhan pun kemudian meletus.

 

Kerusuhan itu menyebar hingga ke daerah lainnya di Aceh. Para mahasiswa dan pelajar turun ke jalan mengamuk melempar toko-toko milik Tionghoa, yang kemudian dikenal dengan demo cina. Sejak saat itu kenyamanan Peunayong mulai terganggu, diantara etnis tionghoa ada yang memilih meninggalkan Aceh.

 

Meski pernah memiliki kenangan kerusuhan pada tahun 1981, namun oknum pemilik bengkel di Peunayong belum juga merubah kelicikan mereka saat memperbaiki motor pelanggan.  Masih saja ada yang sengaja melakukan perbaikan yang menjerat kantong pelanggan, terkadang untuk perbaikan motor bututpun mereka mengambil tarif yang sudah hampir seharga separuh sepeda motor.

 

Aksi tipu-tipu oleh oknum etnis Tionghoa di Peunayong memang belum bisa ditinggalkan. Perlunya keberhati-hatian dan kejelian dari pelanggan saat menggunakan jasa mereka merupakan faktor yang sangat mutlak.

 

Tidak Toleran

 

Meski rasa toleransi beragama dari warga Aceh terhadap warga Tionghoa yang non muslim sangat tinggi, namun tidak demikian dengan mereka. Bila saja ada anggota keluarga etnis Tionghoa menjadi mualaf, mereka langsung mengucilkan mualaf itu, bahkan warisannya pun tidak diberi.

 

Begitulah nasib yang dialami seorang etnis Tionghoa yang kini menjadi muallaf,  yang harus bekerja serabutan untuk menghidupi dirinya dan anak yang dia miliki. "Peunayong memang berbeda, berbeda budayanya, berbeda pula toleransinya.”

 

Tarmizi Alhagu

Komentar

Tampilkan

Terkini