Suara Merdeka Radio Rimba Raya

Senin, 13 Agustus 2018, Agustus 13, 2018 WIB Last Updated 2018-08-13T09:52:37Z
Monumen Radio Rimba Raya terletak di Rimba Raya Kecamatan Timang Gajah
Kabupaten Bener Meriah. Foto Dok : (H.AR Djuli).

Peranan Radio Rimba Raya milik Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X Komandemen Sumatera, Langkat dan Tanah Karo  pimpinan Panglima Kolonel Hussein Joesoef berkdudukan di Bireuen paling berjasa dalam mempertahankan Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945.

Mulai mengudara ke seluruh dunia  dari dataran tinggi Gayo Kecamatan Rimba Raya Kecmatan Timang Gajah Kabupaten Benar Meriah  20 Desember 1948 dalam siara  enam bahasa, Indonesia, Arab, Inggeris, Belanda, Cina dan bahasa  Urdu.

Siaran bahasa Indonsia disiarkan Syarifuddin, Ramli Melayu,M Syah Asyek, Syarifuddin Thaib, yuamsuddin Rauf, Raden Sarsono  dan Agu Sam.

Bahasa Arab disiarkan Abdullah Arief,  bahasa Inggeris disiarkan Abdullah, tentara  Sekutu Belanda kebangsaan Inggris yang membelot ke TRI, bahasa Belanda oleh W Shutz, bahasa  Cina oleh Hie Wun Fie (WNI Bireuen), dan bahasa Urdu disiarkan Chandra.

Sedangkan Letda Ummi Salmah isteri Kolonel Hoessein Joesoef Panglima Divisi X meyiarkan dalam bahasa Aceh sebagai siaran menghibur para isteri prajurit Divisi X yang suaminya sedang berjuang di Medan Area melawan tentara sekutu Belanda.

Pesawat Radio Rimba Raya sebagai cikal bakal Radio RRI sekrang masih tersimpan di meseum Jogyakarta.

Melalui berita singkat Radio Rimba Raya pada masa perjuangan Kemerdekaan Indonesia yang diproklamirkan Soekarno-Hatta 17 Agustus 1945,  berhasil memblokade dan membantah siaran bohong Radio Hervenzent Belanda masa agresi-II Belanda tahun 1948, yang menyatakan Indonesia tidak ada lagi sudah dikuasai Belanda.
Mayor Jenderal Tituler Daoed Beureueh

Inilah cuplikan siaran singkat Radio Rimba Raya yang disiarkan langsung Gubernur Militer Aceh  Mayjen Tituler Tgk Muhammad Daud Beureueh; pada masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan RI  73 tahun silam.

.”Republik Indonesia masih ada,  Pemimpin Republik masih ada, , tentera Republik masih ada, Pemerintah Republik masih ada, wilayah Republik masih ada dan di sini adalah Aceh”.

Berita itu disiarkan melalui stasion radio berkekuatan satu kilowatt pada frekwensi 19,25 dan 61 meter. Berita kemerdekaan Indonesia pun tersebar ke berbagai manca negara masa itu.

Menomen Radio Rimba Raya  diresmikan  Menteri Koperasi/Kepala Bulog, Bustanil Arifin (Alm)  27 Oktober 1987 pukul 10.30 WIB itu, terletak di desa Rimba Raya, Kecamatan Timang Gajah, Kabupaten Bener Meriah.

Radio Rimba Raya yang berjasa  dalam menyiarkan  berita kemerdekaan RI. dimasa agresi  Belanda ke-dua, 19 Desember 1948 dan peranan Radio Rimba Raya satu-satunya Radio Republik Indonesia sebagai penyiaran  berita di tanah air yang beroperasi ditengah hutan rimba raya dataran tinggi Gayo.

Para penyiar radio dalam enam bahasa mulai 20  Desember 1948,  siaran berita terus mengudara, membuat Belanda marah tak kepalang. Pasalnya, Belanda merasa telah menghancurkan seluruh radio Indonesia untuk memutuskan informasi  melempangkan propaganda perang mereka sendiri.  untuk mendukung  agresi-II Belanda.

Sejak radio  mengudara dalam rimba raya, Belanda mengirim pesawat-pesawat capungnya ke langit Cot Gue, Aceh Besar, untuk mengintai posisi stasiun radio . dikelola Tentara Republik Indonesia (TRI) Divisi X  Aceh, pimpinan Kolonel Hoessein Joesoef  yang saat itu bergerilya di hutan-hutan untuk menghalau masuknya Belanda yang telah menguasai Pulau Jawa dan Sumatera Timur (Sumut) sekarang.

Malang bagi Belanda. hingga akhir Desember 1949 atau setahun setelah agresi-II, mereka tak kunjung menemukan Radio Rimba Raya, yang terus mengudara menyiarkan berita kemerdekaan Indonesia ke seluruh dunia.

Menurut Abdul Karim Yakobi, Komandan Resimen Tentara Pelajar Islam yang berada di bawah Divisi Gajah I/Aceh, berita yang disiarkan Radio Rimba Raya itu tak hanya informasi untuk menangkal propaganda Belanda di Aceh, tetapi juga berita-berita manca negara.“

Jam siarannya sejak pukul 16.00 WSu (Waktu Sumatera) sampai 24.00 dini hari dengan menggunakan teknologi pemancar telegrap.

Sementara berita-berita manca negara dipasok oleh Letnan Syarifuddin di Jakarta dalam bentuk data stenograf. Berita-berita ini sendiri diambil dari kantor berita Reuters (Inggris), AP dan UP (Amerika), AFP (Perancis), serta Aneta (Belanda).

Informasi-informasi inilah yang dipancarluaskan ke khalayak pendengar, selain merelai siaran Radio Republik Indonesia (RRI) di Yogyakarta sebelum ditutup Belanda.

Radio ini semula diberi nama PD X (Perhubungan Divisi X) yang mengudara pada frekuensi 39.00 melalui format telegrafis (tulisan) dan telefonis (suara).

Sasarannya tak hanya masyarakat pendengar, tetapi juga berfungsi sebagai penghubung dengan pemerintah pusat dan Markas Besar TRI di Yogyakarta, serta Komandemen Sumatera di Bukit Tinggi.

Belakangan, namanya diubah menjadi Radio Republik Indonesia Kutaradja terakhir Radio Rimba Raya.

Nama berbau gerilya ini dipilih karena disiarkan dari lokasi yang jauh berada di tengah rimba di dataran tinggi Gayo  Aceh Tengah, tepatnya di Barnibius, nama sebuah perkampungan. Sementara Rimba Raya sendiri adalah nama kawasan  hutan pada masa itu yang tak berpenghuni.

Lokasi ini dipilih,  karena pegunungan Cot Gue Aceh Besar sering menjadi sasaran gempuran serangan udara Belanda, setelah beberapa kali dilakukan usaha mengirim mata-mata. Setelah mengudara enam bulan, datanglah seorang pemuda usia 20-an tahun, duduk dan mengamati pemancar.

Hal itu dilakukannya beberapa hari. Tentu saja para kru Radio Rimba Raya curiga. apalagi saat ditanya, pemuda ini tergagap. Untuk mengorek keterangan, para kru radio yang juga TRI.

Selain karena banyaknya mata-mata, pemindahan studio dari Takengon ke Bireuen juga disebabkan jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta pada 20 Desember 1948.

Saat itu, Presiden Soekarno membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di bawah Syarifuddin Prawiranegara,  memindahkan ibukota ke Lintau, Bukit Tinggi.

Informasi dari Bukit Tinggi dipancarkan ke New Delhi, India, tempat Duta Besar Indonesia, MM Maramis bermukim.

Melalui jalur diplomasi, Maramis bertugas mengabarkan ke seluruh dunia bahwa Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia setelah berakhirnya Perang Dunia II, bersama siaran Radio Rimba Raya.

Karena itu tak heran, jika radio ini menggunakan berbagai bahasa, mulai Indonesia, Aceh, Maluku, Manado, Inggris, Belanda, Cina, Arab, hingga Urdu.

Kendati telah menyingkir ke pedalaman Takengon, tapi Belanda tak lelah melacaknya.
 Merasa daerah itu kerap diintai, akhirnya Laksamana Muda Syarifudin Thayib dan Laksamana Muda Abdullah yang saat itu menjabat sebagai Pelaksana Tugas, membongkar pemancar radio dan memindahkan siaran ke Bireuen.

“Setiap hari banyak pesawat capung Belanda terbang untuk mematai-matai, tetapi tidak pernah menjatuhkan bom,” tutur Yakobi

Setelah pindah ke Bireuen, siaran dilakukan di kediaman Kolonel Hoesein Joeosoef  (Panglima Divisi X) yang kerap berpidato membakar semangat para prajurit dari kamar pribadinya.

Agar tak mudah terlacak, pemancar pun ditempatkan 50 meter dari rumah yang merangkap studio itu.
Tak hanya Kolonel Hoessein Joeosoef , Gubernur Militer Aceh Teungku Muhammad Daud Beureueh pun memanfaatkan siaran Radio Rimba Raya untuk memobilisasi rakyat berjuang mengusir Belanda.

Keterlibatan Daud Beureueh memang tak lepas dari tertawannya Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta setelah Yogya jatuh.

Pada 19 Desember 1948 malam, digelar rapat Dewan Pertahanan dan Keamanan Daerah Aceh di gedung Monmata yang dipimpin Abu Beureueh. Rapat itu membahas masalah komunikasi para tentara yang terputus akibat RRI Yogya tak mengudara lagi.

Sebagai seorang pendukung Indonesia, Abu Beureueh pun memerintahkan kepada bawahannya untuk mengusahakan sebuah pemancar radio Angkatan Darat sebagai sarana komunikasi. Semula, radio itu diberi nama Suara Indonesia Merdeka-Kutaraja.

Karena itu tak heran bila Daud Beureueh ikut siaran begitu stasiun dipindahkan ke Bireuen. Sejak dipindahkan, frekuensi pun berubah. Demikian juga dengan jam siaran. Bila sebelumnya mengudara sejak jam empat sore, kini siaran dilakukan mulai jam 6.00 pagi.

Selain berpidato, sebagai Panglima Divisi X, Kolonel Hoessein Joesoef  juga merangkap petugas teknis dibantu rekan-rekannya, termasuk AG Mutiara.

Menurut Yakobi, teknologi dan infrastrukturnya dipasok oleh seorang laksamana muda bernama Jhon Lie. “Jhon Lie-lah yang bertugas dan bertanggung jawab penuh atas keselamatan pemancar dan mesin-mesin stasiun radio. ”

Pemancar buatan Amerika itu dibeli dari penjualan hasil bumi Aceh kepada para agen di sepanjang pantai perbatasan Aceh, Malaysia, dan Singapura. mendatangkannya ke Aceh pun bukan perkara gampang.

Satu boad bermuatan bahan makanan ditumpangi 12 anggota TRI Disivisi X Bireuen gugur tenggelam kedasar laut Selat Malaka dibom pesawat sekutu Belanda, sedangkan satu boat lagi bermuatan satu pesawat bersama 12 anggtota TRI selamat berhasil mendaratkan pesawat Radio yang diseludupkan John Lie melalui Sungai Yu pesisir Aceh Timur (sekarang Aceh Tamiang).

Namun karena kelihaian dan taktik yang digunakan, Jhon Lee berhasil meloloskan pemancar itu sampai ke tepi pantai. Selanjutnya, giliran tugas Kolonel Hoessein Joeosoef  yang langsung memboyong pemancar itu ke daratan.

Berhentinya  siaran radio perjuangan ini karena berkembang anggapan  revolusi telah selesai. Para staf Radio Republik Indonesia yang bertugas mengawal operasi pemancar Radio Rimba Raya pun menutup siaran yang telah mereka lakukan sejak tahun 1947.

Sebagai gantinya, di sekitar tempat terakhir pemancangan pemancar RRR itu, didirikanlah sebuah monumen perjuangan rakyat Indonesia sebaga  satu-satunya Radio dari Aceh yang pertama kali menyiarkan berita “Indonesia Merdeka” ke seluruh dunia.

Tugu menomen Radio Rimba Raya  persis terletak 40 km dari kota Takengon  dibangun pada masa Letjen Purn Bustanil Arifin mantan staf Divisi X Bireuen saat masih menjabat sebagai Menteri Koperasi/Kabulog


Tak Pernah Diziarahi :
Mayjen Tituler Tgk Muhammad Daud Beureueh Gubernur Militer Aceh. 
Panglima Divisi X Kolonel Hoessein Joesoef. Foto Dok : (H.AR Djuli).


Sejak zaman revolusi 1945 hingga  agresi Belanda 1947-1948 kota Juang Bireuen dikenal sebagai gudangnya pahlawan pejuang., hingga saat ini belum miliki makam pahlawan.

Sebagai merhargai jasa-jasa para pahlawan pejuang yang telah tiada, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten sebaiknya memugar makam Kolonel Hoessein Joesoef bersama makam isterinya Letda Ummi Salmah di Desa Glumpang Payong, Kecamatan Jeumpa,  juga makam Syuhada 44 di Lheue Simpang Kecamatan Jeunieb, makam Tgk Diglee Kecamatan Samalanga dan makam-makam lainnya.

Setiap memperingati hari kemerdekaan RI 17 Agustus dan peringatan hari pahlawan 10 Nopember selama ini  hanya melaksanakan upcara tanpa ziarah ke makam pahlawan pejuang yang sudah berjasa dalam memperjuangkan dan mempertahakan kemerdekaan Republik Indonesia.

Padahal di Bireuen terdapat beberapa makam pahlawan pejuang, Kolonel Hoeseein Joesoef di desa Glumpang Payong Kecamatan Jeumpa 3 km jaraknya sebelah barat kota Bireuen, makam Syuhada 44 di desa Lheue Simpang Kecamatan Jeunieb dan makam delapan (kubu Lapan) di Simpang Tamboe kecamatan Simpang Mamplam.

H.AR Djuli.

Komentar

Tampilkan

Terkini