Terkait Kalista Alam :Putusan PN Meulaboh lawan putusan MA

Sabtu, 05 Mei 2018, Mei 05, 2018 WIB Last Updated 2018-05-05T13:09:42Z

Jakarta-Pengadilan Negeri Meulaboh, Aceh, membuat keputusan yang mengejutkan
dengan memenangkan gugatan perusahaan kelapa sawit PT Kalista Alam
(PTKA) terhadap Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.



Dimenangkannya PTKA dengan putusan Perkara No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo,
tertanggal 13 April 2018 itu, dinilai menentang putusan Mahkamah Agung
No. 1 PK/Pdt/2015 terhadap PTKA, yang salah satu kewajiban setelah
putusan tersebut adalah melaksanakan eksekusi.



Tahun 2014, PTKA dinyatakan bersalah karena melakukan pembersihan
lahan dengan cara membakar lahan gambut Rawa Tripa di Kabupaten Nagan
Raya. Rawa Tripa, hutan gambut seluas 61.803 hektar yang terletak di
Kabupaten Nagan Raya, Aceh itu merupakan bagian dari Kawasan Ekosistem
Leuser yang dilindungi UU No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang melalui PP No. 26/2008 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, yang memasukkannya sebagai
kawasan strategis berfungsi lindung.



Rawa Tripa merupakan satu dari tiga lahan gambut terluas di Aceh.
Dengan kedalaman mencapai 12 meter, ia memainkan peran penting bagi
penyerapan karbon di Aceh. Selain menyerap karbon, lahan gambut juga
dapat mencegah banjir, mendukung nelayan dan menyediakan keragaman
habitat bagi keragaman spesies.



Namun, tragedi menghampiri. Rawa Tripa yang dikenal sebagai “Ibukota
Orangutan di Dunia” itu dibakar untuk membuka lahan perkebunan kelapa
sawit. Peristiwa ini sempat mengejutkan Indonesia dan dunia.

Akibat pengrusakan lingkungan hidup, PTKA diganjar cukup berat. Pada
15 Juli 2014, Pengadilan Negeri (PN) Meulaboh memvonis bersalah
perusaan kelapa sawit tersebut. PTKA diwajibkan mengganti rugi materil
sebesar Rp114 miliar ke negara dan harus membayar dana pemulihan lahan
sebesar Rp251 miliar.



Tak puas dengan putusan tersebut, PTKA mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi, namun ditolak. Mahkamah Agung pun telah menyatakan
PTKA bersalah dan menolak banding maupun Peninjauan Kembali (PK) kasus
ini.



Putusan MA ini, bagi aktifis lingkungan, merupakan kemenangan hukum
perlidungan lingkungan di Indonesia. “Terutama bagi masyarakat lokal,
kemenangan ini adalah keadilan dan inisiasi penting bagi usaha
pemulihan di Tripa,” kata Harli Muin, pengacara Gerakan Rakyat
Menggugat (GeRAM). Pemerintah, melalui Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) pun mengapresiasi putusan tersebut.



Namun, dua tahun berselang, eksekusi tak kunjung dilaksanakan.
Meskipun, lanjut Harli, KLHK telah mengirim surat permohonan kepada
Kepala PN Meulaboh untuk melakukan eksekusi putusan. “Namun Ketua PN
Meulaboh melakukan penundaan, dengan alasan PTKA sedang mengajukan
Peninjauan Kembali (PK)” tuturnya.



Senada dengan Harli, juru bicara GeRAM, Fahmi Muhammad, menyatakan
seharusnya PN Meulaboh melaksankan eksekusi terhadap Putusan MA.
Menurutnya, PN Meulaboh tidak memiliki dasar hukum untuk menunda
pelaksanaan eksekusi putusan.



Setelah putusan PK ditolak MA, Ketua PN Meulaboh, karena tidak
memiliki alasan melakwanakan eksekusi, malah mengeluarkan penetapan
pelridungan Hukum terhadap PT.KA “Kami kaget mengetahui bahwa Ketua PN
Meulaboh mengeluarkan Penetapan Perlindungan Hukum terhadap PTKA
dengan No. 1/Pen/Pdt/eks/2017/Pn.Mbo. Kami melihat ini merupakan hal
yang aneh,” Putusan ini membatalkan Putusan MA dan PK,” ujar Fahmi.



PTKA rupanya tak berdiam diri. Alih-alih membayar denda yang
diwajibkan tersebut, PTKA menggugat balik beberapa lembaga pemerintah
yaitu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ketua Koperasi Bina
Usaha, Kantor BPN Provinsi Aceh, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Provinsi Aceh dengan perkara No. 16/Pdt.G/Pn.Mbo.



Pengadilan Negeri Meulaboh menyatakan eksekusi keputusan tahun 2014
tak dapat dilaksanakan sampai ada keputusan terhadap gugatan baru.
Menurut Fahmi, seharusnya tidak ada gugatan baru yang dapat
membenarkan pengadilan untuk menunda eksekusi keputusan. “Dan juga
tidak ada justifikasi untuk memberikan PTKA ‘perlindungan hukum’. Apa
yang dilakukan Ketua PN Meulaboh membingungkan,” lanjutnya. Fahmi juga
menilai PTKA mencari-cari alasan menghindari pelaksanaan eksekusi.



Kini, cerita pun berubah. Majelis Hakim PN Meulaboh yang dipimpin Said
Hasan dalam  Perkara Perkara No. 16/Pdt.G/2017/Pn.Mbo menyatakan
menerima gugatan PTKA. Bukti koordinat yang salah yang diberikan
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada kasus sebelumnya
menjadi alasannya.   

Said Hasan tidak semestinya menjadi Hakim dalam
perakra ini karena merupakan hakim yang menerima penetapan
Perlindungan Hukum  dan menolak eksekusi “ Kita lihat Hari ini, Hakim
Said Hasan memutuskan bahwa dia tidak akan mengeksekusi putusan
Mahkamah Agung terhadap perusahaan kelapa sawit,” pungkasnya.

Pers Realase

Komentar

Tampilkan

Terkini