Potret Buram Monopoli Pers Aceh

Kamis, 22 Mei 2025, Mei 22, 2025 WIB Last Updated 2025-05-22T13:12:17Z






Pers Aceh sepertinya sedang tidak baik-baik saja, dimulai dengan kondisi dan perkembangan teknologi informasi, yang mengubah arah marketing, mengubah pula arah pembaca, bermunculanlah media social yang terkadang berfungsi,  seperti fungsi pers dalam tugasnya sebagai agen informasi.


Munculya banyak media dan bertambahnya banyak wartawan, tentu membawa dampak perebutan kue iklan yang berada pada market yang sama, yakni pada lembaga-lembaga pemerintah dan perbankan, BUMD dan sejenisnya.


Disektor inilah dimulai terjadi gesekan, perebutan dan saling sikut, sehingga mucullah apa yang namanya dengan wartawan resmi, dengan label Kompetensi Dewan Pers (UKW) dan wartawan yang dianggap tidak resmi,  karena tidak memiliki UKW.


Friksi Wartawan UKW Non UKW

Celakanya kemunculan banyaknya wartawan di Aceh bukannya menjadi pembawa syiar, untuk menerangi kehidupan masyarakat, tetapi justru membawa kekisruhan oleh sepak terjang mereka, dalam perebutan rezeki dilapangan, telah membuat mereka terpecah pada posisi wartawan resmi dan wartawan tidak resmi.


Pemberian Sertifikat  Uji Kompetensi (UKW) oleh Dewan Pers telah disikapi oleh oknum wartawan di Aceh, bahkan oleh sebagian kalangan pejabat pemerintah, sebagai syarat pokok menjadi seorang wartawan, seorang wartawan harus memiliki kartu UKW, sementara masih banyak wartawan di Aceh tidak memilikinya, dan yang enggan mengikuti UKW.


Tentu saja potensi UKW itu menendang wartawan tanpa UKW kejurang yang paling dalam, mereka dianggap sebagai wartawan yang tidak resmi, wartawan gadungan, bahkan sering disebut wartawan abal-abal atau Bodrex, sebuah merek obat sakit kepala dengan iklan adu jotos,  pada siaran niaga Televisi era tahun delapan puluhan.


Sikap oknum wartawan pemegang UKW yang kontra produktif, juga memperparah kondisi luka wartawan non UKW,  “menganggap mereka yang non UKW bukan wartawan, tidak berhak meliput, media non UKW tidak berhak mendapatkan iklan,”  menambah tajamnya pergesekan antara wartawan UKW dan non UKW dilapangan.


Dari sinilah kemudian terjadi saling menyerang antar mereka, saling membuka aib, saling menuding, hingga berbalas pantun di media masing-masing, Kartu UKW menjadi kata kunci untuk menjadi wartawan di Aceh, Dewan Pers sudah  dianggap sebagai lembaga yang menerbitkan izin seseorang untuk menjadi wartawan.


Persepsi bahwa Dewan Pers dengan kartu UKW, sebagai lembaga yang membolehkan seseorang untuk menjalankan profesi wartawan, memberi tugas liputan dan sebagainya, bahkan masuk kedalam ranah marketing dalam mendapatkan iklan, juga harus media yang sudah terverifikasi Dewan Pers, dipahami sebagai sebuah kewajiban di Aceh.


Disitulah membuat panik sejumlah media dan wartawan non UKW, hajat hidup mereka dibunuh oleh produk UKW  Dewan Pers, hak meliput mereka dibunuh, hak media mereka untuk menjalankan market di bidang iklan juga dibunuh.


Pemahaman yang mendewakan UKW itulah membelah kehidupan Pers di Aceh, padahal Dewan Pers pada pokoknya berfungsi untuk menyelesaikan Sengketa Pers, bukannya masuk kedalam urusan  boleh tidak bolehnya seseorang menjadi wartawan, boleh tidak bolehnya sebuah perusahaan mendapatkan iklan.


Persoalan itulah yang membuat ruwet persoalan Pers di Aceh, ditambah dengan minimnya oknum wartawan menguasai hukum pers dan etik jurnalistik, konon lagi manyoritas wartawan di Aceh terjun  ke dunia pers, bukan dengan kemampuan ilmu Jurnalistik yang memadai.


Bukan Mental Wartawan.

Manyoritas wartawan Aceh menjalankan profesi jurnalis berawal hanya dengan ikut-ikut teman meliput, kemudian mendapat kartu pers dari media temannya, tanpa terlebih dahulu belajar jurnalistik, baik teorinya dan praktik jurnalistik secara akademis.


Tidak heran, mereka tidak memahami,  bagaimana aturan sebenarnya untuk menjadi wartawan, sehingga terjadi pergesekan dengan sesama jurnalis dan nara sumber,  apalagi untuk menjadi wartawan, para oknum itu tidak pernah melalui  Psykotest, yang berfungsi untuk mengetahui apakah seseorang pantas tidaknya untuk menyandang profesi wartawan.


Psykotest itulah sebenarnya kunci untuk meloloskan seseorang menjalankan profesi wartawan, tidak hanya kemampuan menulis dan pengetahuan umum, bila seseorang tidak lolos Psykotest, tidak layaklah dia menjadi wartawan, karena akan bermasalah dilapangan nantinya, tetapi justru proses Psykotest untuk seorang wartawan inilah, yang tidak dilalui oleh manyoritas wartawan di Aceh.


Makanya tidak heran dalam menjalankan profesinya,  lahirlah wartawan amplop, wartawan abal-abal, wartawan proposal, wartawan plok sumbangan, wartawan proyek, wartawan tanpa surat kabar (WTS,) atau bahkan berbagai stempel negative lainnya untuk profesi wartawan, semua itu karena memang mental mereka bukan mental wartawan.


Padahal untuk menjadi seorang wartawan hanya untuk melakukan Empat hal : 1. Memberikan Informasi, 2. Melakukan Edukasi, 3.Memberikan Hiburan, 4. Melakukan Kontrol Sosial, hanya itulah fungsi wartawan, hanya Empat hal, tetapi itupun sangat jarang dilakukan, apalagi yang namanya Kontrol Sosial, lebih sering berubah dengan penukaran amplop sogokan dilapangan.


Kalau empat hal ini tidak dilakukan, bagaimana mereka berani menyebut diri mereka sebagai wartawan, jangan-jangan memilih profesi wartawan hanya untuk mencari amplop, atau bisa memasukkan proposal ke berbagai Intansi Pemerintah dan Swasta, atau untuk gagah-gagahan agar ditakuti orang, biar proyeknya berjalan mulus.


Sesungguhnya kehadiran wartawan  di Aceh yang menjalankan syariat Islam, adalah untuk menyampaikan dakwah , seperti diperintahkan Rasullullah Muhammad S.A.W, “ Sampaikanlah dariku walau satu ayat,” dengan profesi wartawan kita bisa menyampaikan beribu-ribu ayat, itulah fungsinya wartawan didalam Islam.


Di dalam Islam juga memberikan peran Kontrol Sosial, sebagaimana kata Nabi, “ Bila kau Melihat Kemungkaran, maka cegahlah dengan tanganmu, bila kau tak sanggup, maka cegahlah dengan lidahmu, dan bila keduanya kau tak mampu, maka bencilah dengan hatimu.”


Sebagai seorang wartawan dalam mencegah kemungkaran, kita melakukan dengan tulisan kita, bila itu kita tidak lakukan, maka sama saja seorang wartawan sebagai Setan yang diam, membiarkan kemungkaran berlangsung.


Apalagi kalau seorang oknum wartawan, justru bersekongkol dengan pelaku kemungkaran, maka jadilah dia menjalankan perbuatan setan, apalagi bila sampai dia menjadi pembeking kemungkaran, jadilah wartawan Sekutunya Shaytan, Auzhubillah, semoga wartawan Aceh terhindari dari perbuatan TERKUTUK seperti ini.

Komentar

Tampilkan

Terkini