Aceh Pilih Eksport Atau Miskin

Sabtu, 24 Mei 2025, Mei 24, 2025 WIB Last Updated 2025-05-25T08:37:14Z

 


 

Persoalan  Ekonomi  Aceh  setiap tahun mengalami masalah yang sama, terjadi keterlambatan pergerakan di awal tahun, berkurangnya transaksi bisnis dipusat-pusat pasar perkotaan, sebagai akibat menurunnya pembelian masyarakat.

 

Menurunnya daya  beli di pusat pasar perkotaaan di Banda Aceh, tentu membawa dampak macetnya produksi UMKM yang gagal dijual ke pasar, disebabkan minimnya uang yang dibelanjakan masyarakat, berdampak pula menurunnya penggunaan sektor jasa, seperti transportasi, perdagangan, perhotelan dan lainnya.

 

Tahun 2025 ini kemacetan ekonomi justru berlangsung lebih lama, sudah masuk bulan Mei  pertengahan tahun, ekonomi Aceh belum juga bergerak lancar, transaksi di pasar-pasar mulai dari ibu kota Propinsi sampai pasar Kecamatan berjalan menurun.

 

Setiap tahun persoalan ini selalu dikaitkan dengan belum berjalan proyek pemerintah, sehingga tidak beredar uang kedalam masyarakat, sebagai akibat tidak adanya pembelian oleh pemerintah untuk proyek pembangunan dan lainnya.

 

Pemerintah Propinsi sendiri mengaku hal itu disebabkan oleh belum dikirimnya transfer pusat ke Aceh, sehingga mereka belum dapat mendistribusikan anggaran pembangunan itu ketengah masyarakat, itulah polemic yang berlangsung sepanjang tahun di Aceh,, “Transfer Pusat” menjadi kambing hitam yang tidak bisa diputihkan.

 

Potensi Ekonomi Aceh Tidak Di Eksplorasi

Bila dilihat lebih jauh kedalam potensi ekonomi Aceh, ternyata wilayah yang berpenduduk lebih lima juta jiwa itu, memiliki berbagai Sumber Daya yang berlimpah, dari mulai lautnya yang kaya ikan, tanahnya yang subur dengan produk pertanian berupa kopi, kakou, padi, karet, sawit dan berbagai jenis hortikultura.

 

Aceh juga memiliki kekayaan tambang yang berlimpah dari mulai emas, batu bara, giok, bijih besi dan bahan tambang lainnya, yang di ekplorasi secara brutal oleh tambang-tambang illegal,  mulai dari wilayah Tangse, Geumpang, Nagan Raya dan wilayah Aceh Selatan.

 

Sebagian tambang itu memang di eksplorasi secara legal yang membawa PAD untuk daerah, tetapi puluhan bahkan mungkin ratusan tambang emas Ilegal,  beroperasi diseluruh Aceh, dikelola oleh berbagai oknum, yang merusak alam dari kawasan hutan hingga Daerah Aliran Sungai.

 

Bumi Aceh digasak habis-habisan oleh tambang illegal siang dan malam, tiada henti, oknum-oknum itu mengeruk tanah Aceh tanpa belas kasihan,  secara brutal mereka angkut emas Aceh setelah merusak alamnya.

 

Tindakan pelaku tambang illegal lebih sering lolos dari penertiban oleh aparat penegak hukum, entah bagaimana mereka berhasil kabur dari lokasi, terkadang dengan meninggalkan peralatan kerja didalam bivak yang didirikan.

 

Sandiwara tambang emas yang dikeruk secara brutal berlangsung sepanjang tahun,  tiada oknum pelaku yang berhasil dibawa kemeja hijau, entah ilmu apa yang dimiliki para bandit tambang itu, hingga mereka sampai lolos dari tangan aparat penegak hukum.

 

Perbuatan bandit tambang itu telah membuat Aceh, tidak memiliki pemasukan dari sektor tambang, padahal setiap tahun batangan-batangan emas itu berpindah tangan, dari toke di Aceh ke toke yang datang dari Jakarta.

 

Potensi Peternakan.

 

Budidaya sapi seharusnya mampu memberi pemasukan yang lebih baik untuk Aceh, namun sektor ini belum digarap secara serius, berbagai masalah seperti stunting, yang dialami hewan ternak, akibat kondisi kesehatan hewan yang buruk, belum ditangani oleh pemerintah secara baik.

 

Seharusnya sapi Aceh bisa di eksport ke luar negeri, apalagi dengan kondisi peternakan sekarang, yang sudah lebih maju dengan memiliki teknologi budidaya rumput untuk pakan, telah sangat membantu perkembangan budidaya sapi di Aceh.

 

Semua kemajuan teknologi dibidang peternakan, ternyata tidak mampu mendongkrak jumlah sapi di Aceh, padahal berulang kali pengadaan sapi untuk rakyat telah dilakukan melalui dana Pokir dari DPR Aceh,  demikian juga Dinas Peternakan Aceh,  memiliki Budidaya sapi di UPTD Sare dan Ie Su,um, belum juga membuat Aceh berhasil eksport sapi.

 

Kelemahan dunia peternakan Aceh sekarang justru jauh mundur dari era sebelumnya, disaat Aceh berhasil eksport sapi, dari basis peternakan mereka terbesar di wilayah Aceh Besar. Padahal Dinas Pertenakan, kini memiliki proyek Inseminasi Buatan (IB), yang seharusnya mampu mempercepat harapan eksport sapi dari Aceh.

 

Tidak ada penjelasan dari pemerintah, kenapa mereka tidak mampu eksport daging dari Aceh, baik daging sapi, domba atau kambing, bukankah setiap tahun Saudi Arabia membutuhkan Import jutaan sapi, domba dan kambing, untuk kurban dan membayar Dam jama,ah haji, “kenapa Aceh tidak mampu berpartisipasi?”

 

Ataukah Generasi peternakan Aceh memang tidak bekerja secara maksimal, ataukah aparaturnya kekurangan anggaran untuk mewujudkan eksport sapi dari Aceh.

 

Apapun alasan yang diberikan, Aceh perlu eksport sapi, rakyat negeri ini perlu penambahan uang, dari hasil eksport untuk melancarkan kebutuhan ekonomi mereka,  pemasukan uang dari eksport sapi, kambing dan domba sangat dibutuhkan untuk menggerakkan ekonomi Aceh secara keseluruhan.

 

Dari Seksi peternakan ini, tidak hanya potensi daging, yang diharapkan mampu, memberikan pemasukan ekonomi untuk Aceh, tetapi bulu domba dan kulit sapi juga kulit kambing,  memiliki potensi besar untuk dikembangkan sebagai produks fashion yang juga bisa di eksport.

 

Peran Disperindag Tak Hadir.

Bulu domba sampai kini sama sekali tertutup, dari lirikan mata para pelaku bisnis dan aparatur pemerintah, mereka sepertinya tidak menyadari bahan baku woll itu, bisa diproduksi untuk produk fashion seperti baju, sepatu, jas, topi, selimut tebal, dasi dan berbagai produk lainnya yang bernilai jual tinggi.

 

Bila Aceh berhasil mengembangkan produk wool, dipastikan pemasukan ekonomi Aceh,  akan sangat tinggi dari sektor peternakan domba ini. Dengan ongkos kerja yang rendah di Aceh, produk wool bisa di eksport ke wilayah yang bermusim dingin di Eropa dan Amerika.

 

Belum lagi kita bicara produk susu yang sama sekali tidak dilakukan Aceh, yang hanya bisa ketergantungan dari daerah lain untuk produk susu, yang berakibat pada pengeluaran ekonomi tidak sedikit rakyat Aceh, padahal kalau susu dari Aceh bisa dijual kedaerah lain atau eksport, berapa banyak yang akan masuk sebagai pendapatan Aceh.

 

Untuk kerajinan kulit Aceh juga sangat minim, jangankan mengolah produks kulit eksotis dari kulit ular atau buaya, dari kulit sapi, kambing dan kerbau saja tidak diolah, hanya berakhir sebagai produk kukut yang dijual di kios lampisang.

 

Kita melihat bagaimana Francis dan Italia mengolah produk kulit menjadi tas, sepatu, dompet dan berbagai produk lainnya, sehingga muncullah brand Channel, Hermes, Luis Vuitton, dengan nilai jutaan hingga miliar rupiah untuk satu unit.

 

Apakah Aceh yang membanggakan dirinya,  sebagai bangsa teuleubeh ateuh rhueng donya , tidak mampu melakukan itu, kalau hal sepele ini tidak mampu dilakukan, untuk apa juga dibuat kantor pemerintah yang operasionalnya menghabiskan belasan triliun setiap tahun.

 

Bukankan lebih baik kantor pemerintah itu dibubarkan saja, dan pegawainya disuruh ke kebun atau pelihara sapi saja, agar produksi pertanian kita bisa bertambah, yang nantinya bisa untuk eksport, dari pada memelihara ASN, yang kerjanya hanya administrasi saja, urusan konsep surat, tanda tangan dan bikin program, sebuah kerjaan yang dizaman penjajahan Holland dikenal sebagai Kerani.

 

Komentar

Tampilkan

Terkini