Empat Pulau Yang Dicaplok Dan Misteri Peta Aceh tahun 1956

Jumat, 27 Mei 2022, Mei 27, 2022 WIB Last Updated 2022-05-28T04:57:23Z

https://youtu.be/vSdHB0xgIIE?t=16


Suasana tidak biasa mewarnai gedung DPR Aceh Jumat pagi (27/05), saat saya datang sekitar pukul 08:30 nuansa sepi begitu terasa. Tidak banyak mobil anggota dewan yang parkir. Tak terlihat pula anggota dewan di sana, atau mungkin saya tidak mengenal mereka karena memang sudah jarang berkunjung ke gedung legislatif itu.

 

Pagi itu sedianya akan diadakan sebuah pertemuan yang dibungkus dengan nama coffee morning antara insan pers dengan Ketua DPR Aceh. Saya sendiri tidak mengenal siapa ketua yang baru ini. Dia baru saja menjabat menggantikan ketua sebelumnya melalui mekanisme Penggantian Antar Waktu (PAW). Hanya karena mendengar sosok ketua itu berasal dari Buloh Blang Ara, rasa ingin tahu saya muncul.

 

Buloh Blang Ara adalah sebuah desa di pelosok  Aceh Utara, jaraknya sekitar 20 kilometer di tenggara Kota Lhokseumawe.  Ketika saya ke sana hampir sepuluh tahun yang lalu, jalannya masih berupa serakan batu berkerikil. Sungguh melelahkan berkendara di daerah itu. Sepanjang perjalanan kita bisa melihat hamparan sawah dan beberapa rumah penduduk yang terkadang berjauhan.

 

Sebelum sampai ke Pasar Buloh Ara biasanya kita akan bertemu dengan seorang lelaki yang berjalan dengan cara mengesot. Pria itu tidak memakai baju, berkulit gelap. Di bawah pantatnya ada semacam alas dari ban mobil, untuk membantunya bergerak agar tidak lecet bergesek dengan badan jalan.

 

Di penghujung jalan kita akan bertemu dengan Pasar Buloh Blang Ara, nuansa tempo doeloe begitu terasa. Pasar itu masih didominasi oleh kontruksi kayu  tidak bertingkat, masih ada orang jual obat di kaki lima  yang dikerubungi oleh puluhan warga di sana.

 

Begitulah topografi Buloh Blang Ara,  sebuah pemukiman yang berada di bawah gunung  dengan mata pencaharian warganya sebagai petani. Tetapi bukan itu yang menarik minat saya bila berbicara Buloh Blang Ara,  desa terpencil ini terkenal dengan orang-orang cerdasnya. Sebut saja mantan Bupati Aceh Utara Tgk Wahab Dahlawy, dan Bankir Adnan Ganto dan banyak lagi lainnya.


 https://youtu.be/diG0zRokycY?t=267


Kedua tokoh Aceh Utara itu sangat fenomenal pada zaman mereka,  karena itulah saya ingin tahu tentang Saiful Bahri ini, yang namanya dipanggil Pon Yahya oleh banyak kalangan. Karena itulah Jumat pagi itu saya bergegas ke DPR Aceh, gedung yang sudah lama jarang saya kunjungi.

 

Di sebuah ruangan pertemuan bersama dengan perangkat DPRA, Pon Yahya duduk berhadapan dengan para wartawan. Dia agak telat hadir, setelah para insan pers lama menunggu, memulai mukaddimah tentang pentingnya sinergitas antara wartawan dengan dewan.

 

Lalu diapun beralih berbicara tentang persoalan empat pulau milik Aceh yang sudah dimasukkan dalam teritorial Wilayah Sumatera Utara. Saya lihat lelaki muda kelahiran tahun 1977 itu lancar berbicara, pengetahuannya juga standar. Saya menyimak kata-kata yang keluar dari mulut lelaki Buloh Blang Ara ini. Dia menjelaskan duduk persoalan bagaimana keempat pulau sampai dimasukkan kedalam batas wilayah Sumut.

 

Ketika Pon Yahya memberikan kesempatan tanya jawab, saya pun ikut bertanya. Namun alih-alih bertanya, saya malah mengulas perjalanan sejarah Aceh dari tahun 1946. Mulai masa peralihan kekuasaan  T Nyak Arief kepada Tgk Muhammad Daoed Beureueh, hingga perang Medan Area. Sampai  kemudian perjuangan Darul Islam hingga perdamaian kembali dengan pemerintah Indonesia.

 

Pon Yahya pun kembali menjelaskan jika mereka akan mengikuti apa yang tertulis didalam MoU Helsinki dan UUPA. Lalu dia berbalik bertanya pada saya tentang batas wilayah Aceh pada tahun 1956, yang menurut dia belum ditemukan sebuah peta tentang batas wilayah itu. Ketua DPRA itu malah mengungkap sebuah kabar tentang sebuah peta bernama Stablat, yang harus diambil dari negeri Belanda untuk menemukan misteri peta wilayah Aceh tahun 1956.

 

Mendengar itu saya pun ikut berpikir siapa yang memberikan informasi sesat, tentang peta Stablat di Belanda itu kepada Pon Yahya. Karena tahun 1956 itu adalah kondisi di Aceh pada saat paling terpuruk,  Aceh berada dalam kegelapan dengan wilayah yang bernama Residen, yang dimulai dari tahun 1950 sampai tahun 1957.

 

Tahun 1956 adalah tahun paling berkecamuk perang antara pejuang Darul Islam dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah propinsinya telah berpindah ke Sumatera Timur, Aceh sudah dimasukkan kedalam Propinsi Sumatera Timur. Semua perangkat pemerintah sipil dan militer telah dalam bentuk Residen dan Resimen.

 

Pertanyaan Pon Yahya itu tidak ada jawaban. Dia harus mencari siapa Residen Aceh masa itu. Pada dialah jawaban peta wilayah Aceh tahun 1956, atau mungkin misteri itu tersimpan dalam dokumentasi seorang Residence Aceh bernama Danu Broto. Wallahul Alam Bis Sawab, semoga Pon Yahya bisa menemukan jawabannya, dan bisa mengembalikan empat pulau milik Aceh yang sudah dicaplok Sumatera Utara.

 

Tarmizi Alhagu

 

 

Komentar

Tampilkan

Terkini