![]() |
Silaturahmi Pemilik Media Dengan Humas Bank Aceh Syariah |
Banda Aceh - Entah mimpi apa saya siang Kamis ini, tiba-tiba ada rekan
wartawan mengajak santap siang. Kuah beulangong lagi, sebuah kuliner khas Aceh yang
pantang untuk pengidap hipertensi seperti saya.
Tapi mereka mengajak menemani saja, “Nanti abang minum
mentimun saja disana". Baik juga saya pikir, mereka memberi lokasi di tenggara
Banda Aceh, sekitar kawasan Desa Bayue, lokasi yang memiliki pesantren besar di
Kecamatan Darul Imarah, Aceh Besar.
Saya memacu sepeda motor pusaka, peninggalan almarhum adik
saya yang paling bungsu,
tiba-tiba di tengah perjalanan sebuah mobil Innova hitam, meminta saya untuk berhenti di Jalan Mr. Muhammad Hasan. Saya diminta bergabung bersama mereka ke Bayue.
Di dalamnya sudah ada tiga wartawan, motor saya terpaksa
parkir di depan sebuah toko. Jadilah saya ikut tiga wartawan bermobil sampai ke lokasi. Di sana kami berhenti pada sebuah warung kuliner beratap daun sagu,
dengan seluruh tiang dan kontruksi penyangga dari bambu.
Letaknya di pinggir jalan Bayue dengan pemandangan hamparan
sawah di belakang. Kami masuk, di sana ternyata sudah banyak insan pers yang
sudah duduk dibangku kayu panjang, mereka juga sedang menunggu.
Disebelah timur pada sebuah meja panjang sudah tersaji
bebagai kuliner khas Aceh, dari Kuah Beulangong hingga ikan paya, berbagai
kuliner lainnya mengisi seisi meja.
Di sanalah saya baru tahu bahwa ternyata ada undangan dari
Humas Bank Aceh Syariah untuk makan di Bayue. Ternyata para insan pers itu juga
duduk untuk menanti kedatangan pejabat Humas Bank Aceh.
Penantian itu ternyata berlangsung lama, sebagian sudah
berbisik, "kalau bos Bank itu tidak datang bagaimana? Siapa yang akan
membayar pesanan sebanyak itu". Sebagian rekan mengatakan, "Kita akan bayar
patungan". Ada juga yang berkata, "Kita kan punya juga toke disini, toke media ini
aja yang bayar". Itulah selingan yang terjadi.
Tak sampai setengah menit pembicaraan itu ternyata para kru Humas Bank Aceh, sudah muncul dengan mobil mereka. Ada dengan seragam hitam,
mirip pegawai BIN yang berjaga di depan markas mereka di Kalibata,
di belakangnya muncul pejabatnya berseragam putih, mereka menyapa kami
semua, bersalaman, lalu ngajak duduk di meja panjang.
Kamipun duduk di meja panjang yang sudah terhidang penuh
kuliner. Selera mengundang lidah untuk segera menyantap, tapi diawali dengan sedikit
basa-basi dengan para bankir itu.
Saat itulah saya baru tahu nama Pejabat Humas Bank Aceh dengan
panggilan Hafas, sebuah nama yang sangat familier. Tapi saya tidak ingat siapa
dan di mana, ternyata nama Hafas itu mirip nama keponakan saya Hafis yang
tinggal di Stavanger-Norwegia, ibunya bernama Sarah, dia tinggal di Oslo.
Tapi saya coba mengingat lagi, mungkin ada sosok lain yang
pernah saya kenal dengan nama Hafas. Sayang saya gagal menemukan di dalam belantara memori otak saya, tak apalah pikir saya, yang penting inilah sosok Kabid Humas Bank
Aceh Syariah yang baru.
Hafas mempersilakan kami makan, di depan saya sudah tersaji
sepiring Eungkot Bace, dengan masakan khas Aceh Besar. Dimasak dengan campuran
beragam bumbu, kami menyebutnya Peu Aweuh, orang luar sering menyebutnya Ikan Paya, tapi saya menyebutnya Eungkot Bung.
Dipiring kecil cuma terisi dua potong Eungkot Bace, atau dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan
ikan gabus. Memiliki khasiat untuk pengobatan luka dalam, terutama untuk luka
lambung.
Ikan Bace itulah yang saya makan sampai habis bersama
sepiring nasi, tanpa menyelingi dengan yang lain, kecuali segelas air timun
kerok.
Usai makan sajian lezat itu, Hafas memberikan semacam pidato
perkenalan, basa-basi tentang pemberitaan media. Hingga akhirnya masuk ke
bagian marketing, tentu saja ini masalah iklan Bank Aceh yang belum dibayar. Ditengah terpuruknya pemilik media di Aceh, akibat iklan yang dipasang oleh intansi
pemerintah belum juga dibayar, dan sebuah info kas daerah yang kosong akibat
tidak ada transfer dari pusat membuat panik pemilik media.
Macetnya pembayaran dari Bank Aceh, sudah pasti membuat kas
media kosong. Pemilik kelimpungan mencari pembiayaan untuk keberlangsungan
media mereka, itulah yang disampaikan seorang rekan pemilik media, kepada Hafas sebagai Kabag Humas Bank Aceh
Syariah yang baru.
Harapan wartawan itu ternyata berbeda dengan keinginan Hafas,
dia justru ingin pembayaran iklan untuk media, sesuai dengan tingkatan grafik
jumlah pembaca yang bersangkutan.
Berseliweran pendapat para pemilik media, sampai kepada
sebuah permintaan Hafas agar pembayaran itu dilakukan terhadap berita saja,
bukan iklan banner. Sebuah usulan yang bisa menjerumuskan insan pers ke dalam
masalah hukum, karena setiap produk jurnalistik tidak boleh dibayar. Dengan kata
lain wartawan tidak boleh menerima uang atau janji untuk menaikkan atau tidak
menaikkan berita, karena sudah masuk dalam sogokan.
Pembicaraan itu terus berlanjut, saya tidak sempat mengikuti
keputusan finalnya, karena sudah harus mengikuti pemilik mobil yang saya
tumpangi untuk pulang. Tetapi yang pasti saya berterimakasih telah disajikan
sepiring ikan bace dari Bos Hafas, sebuah nama yang sepertinya familier di
telinga saya.
Tarmizi Alhagu.